Kesehatan Mental Jadi Prioritas: Mengenali Tanda Stres dan Kecemasan pada Siswa SMP

Di tengah tekanan akademik, tuntutan sosial, dan pesatnya perubahan fisik serta emosional, Kesehatan Mental siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus menjadi perhatian utama bagi seluruh pihak. Masa remaja adalah periode rentan di mana siswa mulai bergulat dengan isu identitas, citra diri, dan tekanan untuk berprestasi, yang semuanya dapat memicu stres dan kecemasan signifikan. Sayangnya, masalah Kesehatan Mental pada remaja sering luput dari perhatian karena gejalanya disalahartikan sebagai “malas” atau “drama remaja” biasa. Kegagalan dalam mengenali dan mengatasi tanda-tanda awal ini dapat berujung pada masalah serius seperti depresi, penarikan diri sosial, hingga penurunan drastis dalam kualitas hidup.

Langkah pertama dalam menjaga Kesehatan Mental siswa adalah mengenali tanda-tanda bahaya. Tanda-tanda stres dan kecemasan pada siswa SMP seringkali tidak berbentuk kesedihan yang jelas, melainkan termanifestasi sebagai perubahan perilaku. Perhatikan jika siswa tiba-tiba menunjukkan penurunan prestasi akademik yang signifikan, misalnya, nilai rata-rata mata pelajaran inti turun lebih dari 15% selama satu kuartal berturut-turut, seperti yang dicatat oleh Guru Wali Kelas IX, Ibu Endang S.Pd., di SMP Cendekia pada Desember 2024. Selain itu, kecemasan dapat muncul dalam bentuk keluhan fisik berulang tanpa alasan medis yang jelas, seperti sakit kepala atau sakit perut setiap Senin pagi sebelum ujian. Gejala lain yang harus diwaspadai adalah perubahan pola tidur dan makan yang ekstrem.

Intervensi dini memerlukan kolaborasi erat antara sekolah dan orang tua. Sekolah harus menyediakan akses mudah dan terjamin kerahasiaannya ke layanan konseling. Di SMP Tunas Muda di Surabaya, Konselor Sekolah, Bapak Adrian M.Psi., menetapkan “Jam Buka” konseling setiap Selasa dan Kamis dari pukul 13.00 hingga 15.00 WIB, di mana siswa dapat datang tanpa perlu membuat janji. Selain itu, pihak sekolah bekerja sama dengan Puskesmas B setempat untuk mengadakan screening mental rutin menggunakan kuesioner baku, yang dilakukan setiap September di awal tahun ajaran. Data screening ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk mengidentifikasi siswa yang membutuhkan dukungan lebih lanjut.

Peran orang tua di rumah adalah menciptakan lingkungan yang suportif dan bebas dari penghakiman. Alih-alih langsung memberi solusi saat anak bercerita tentang masalah, praktikkan active listening untuk membuat mereka merasa didengar. Jika masalah semakin parah, jangan ragu mencari bantuan profesional. Sebagai contoh data, Badan Perlindungan Anak dan Remaja (BPAR) dalam laporannya pada Maret 2025, merekomendasikan intervensi ahli jika isolasi sosial anak berlanjut hingga lebih dari empat minggu. Orang tua dapat menghubungi layanan bantuan seperti hotline konseling daerah yang beroperasi 24 jam sehari. Dengan kesadaran kolektif untuk menjadikan Kesehatan Mental prioritas, kita dapat membantu siswa SMP melewati masa penuh tantangan ini dengan lebih tangguh dan sehat secara emosional.